Beberapa hari yang
lalu, ada seseorang yang bercerita kepada saya, intinya seperti ini, "Mbak,
kadang ada orang yang rajin beribadah, namun rezekinya pas-pasan, sebaliknya,
ada pula orang yang tidak rajin dalam beribadah, namun rezekinya malah
berlimpah. Hal ini yang terkadang membuat kita iri. Bagaimana ya, Mbak?"
Mungkin tak dapat
dipungkiri bahwa kejadian yang senada dengan hal di atas itu pernah kita alami.
Terkadang kita iri dengan rezeki maupun pencapaian orang lain. Manusiawi
memang, hawa nafsu kita diciptakan untuk cenderung pada sesuatu yang bersifat
duniawi, salah satunya memaknai rezeki hanyalah dengan harta. Andai saja rezeki
selalu diukur dengan harta, maka tentu saja orang kaya lebih mulia dibandingkan
orang miskin. Sedangkan Allah, tak pernah memandang seseorang melainkan dari
ketakwaannya.
Jika kita paham betul
bahwasanya kadar rezeki telah diatur oleh Allah, tentu saja kita tak akan lagi
memusingkannya. Allah telah menyediakan setiap jiwa dengan rezekinya, dan tak
akan mencabut jiwa tersebut kecuali telah disempurnakan rezekinya. Tersebutlah kisah
seorang lelaki yang tercebur ke dalam sumur, ia pun teriak minta tolong.
Qadarullah, ada orang yang berhasil menolongnya. Ia pun diberi segelas susu
oleh sang penolong dan diminumnya, sembari ditanya mengenai kronologi jatuhnya ke
dalam sumur. Sang lelaki pun memeragakan bagaimana ia jatuh ke dalam sumur, dan
secara tak sengaja, lelaki tersebut jatuh kembali ke dalam sumur dan akhirnya
meninggal. Demikianlah, bukti bahwa Allah menyempurnakan rezeki orang tersebut
dengan segelas susu yang diminumnya. Maka telah jelas, bahwasanya siapapun yang hidup pastilah diberi jatah rezeki oleh Allah sampai dia mati.
Adapun orang yang kaya
di dunia, harta tersebut tentu saja akan ditanyai untuk apa digunakan. Dan
sungguh, setiap harta itu akan ada hisabnya. Orang kaya akan lebih lama
hisabnya dibandingkan orang miskin. Akan ditanya, apakah rezeki yang telah
Allah berikan itu hanya untuk makan kemudian dibuang, ataukah hanya untuk
dicari kemudian dikumpulkan, ataukah disedekahkan. Dan sungguh, sebaik-sebaik
harta itu ialah yang dimanfaatkan untuk umat, untuk jalan kebajikan. Maka
beruntunglah, orang miskin yang bersabar.
Maka, masalah rezeki ialah
tentang keyakinan. Layaknya seekor burung yang keluar dari sarangnya di pagi
hari, kemudian pulang di sore hari dalam keadaan terpenuhi kebutuhan pangannya.
Layaknya seekor kucing yang berpindah dari rumah ke rumah, menunggu belas
kasihan sang pemilik rumah untuk sekedar mendapat sepotong daging atau tempe
sebagai makanannya. Bahkan, jika kucing tak sabar, ia pun akan mengambil
makanan sang pemilik rumah dengan mengendap-endap. Begitulah usaha. Hewan pun
punya naluri berusaha untuk kebutuhan hidupnya; dalam ilmu biologi ini dibahas
dalam kajian etologi.
Maka,
untuk memudahkan turunnya rezeki, tentunya haruslah ada usaha. Ketika saya pernah
mengikuti kajian mengenai magnet rezeki, disana dibahas mengenai cara
mendatangkan rezeki, yaitu memperbanyak berpikir positif dan khusnudzon kepada
Allah. Maka, untuk kita yang merasa sudah banyak beribadah dan rezekinya masih
pas-pasan, yuk, coba kita lihat lagi ibadah kita, apakah memang benar-benar
diawali dari niat yang benar? Ataukah masih sekedar rutinitas amalan fisik
saja? Ataukah mungkin ini ialah cara Allah untuk menenguhkan keimanan kita,
menguji kesabaran kita atas ibadah yang telah kita lakukan? Mari berintrospeksi
dan tumbuhkanlah keyakinan kepada Allah, karena sejatinya, rezeki tak terbatas
pada harta, namun rezeki terbaik ialah keteguhan islam kita. Sebagaimana disebutkan
dalam QS. Al-Lail: 5-7, “Adapun
orang-orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta
membenarkan terhadap pahala yang terbaik (surga), maka Kami mudahkan baginya
jalan yang mudah (Islam)”.
Komentar
Posting Komentar