Ibu saya pernah bercerita, ketika masa kecil, saya bersama adik dan teman-teman sering bermain di luar dari pada di dalam rumah, seperti bermain di pasir, di sawah, di sungai, dan juga ikut berkebun. Bahkan sampai sekarang pun saya masih mengingat momen-momen itu, ketika saya pergi ke hutan sambil mencari buah ketapang, buah salam, dan daun melinjo. Saya juga masih mengingat ketika saya beramai-ramai dengan teman-teman mencari wahana berenang gratis, yaitu di sungai. Saya merasa sangat bahagia ketika banyak mengeksplorasi alam sekitar dengan sepuasnya.
Sayangnya, apa yang saya alami di masa lalu mungkin tidak dialami oleh semua anak di saat ini. Anak-anak saat ini banyak yang lebih tertarik bermain gadget. Menurut BPS (2022), 33,44% anak usia dini di Indonesia menggunakan gadget, dengan rincian 25,5% anak berusia 0-4 tahun dan 52,76% anak berusia 5-6 tahun. Pada tahun 2020, American Academy of Child and Adolescent Psychiatry melaporkan bahwa anak-anak berusia 8 hingga 12 tahun di Amerika Serikat rata-rata menghabiskan waktu antara empat hingga enam jam setiap hari untuk menonton atau menggunakan gadget. Penelitian ini melibatkan sekitar 11.800 anak berusia 9 hingga 10 tahun.
Dampak pemakaian gadget berlebih bisa menyebabkan anak mudah tantrum, gampang bosan, hingga kecanduan dan mengalami gangguan mata. Memang, kita tidak bisa memungkiri perkembangan zaman, namun bagaimana kita bisa mengontrolnya, dengan memberi waktu kapan bermain di alam luar dan kapan sesekali (dengan batas waktu) anak dikenalkan dengan gadget.
Dari kesenjangan di atas, saya akan mencoba memaparkan beberapa alasan mengapa anak-anak perlu dikenalkan dengan alam sekitar. Studi menunjukkan bahwa interaksi langsung dengan alam tidak hanya bermanfaat secara fisik, tetapi juga memberikan dampak positif pada perkembangan mental dan sosial anak.
Manfaat Belajar di Alam terhadap Perkembangan Kognitif
Interaksi dengan lingkungan terbukti meningkatkan kemampuan konsentrasi dan kreativitas anak. Menurut Attention Restoration Theory yang dikembangkan oleh Stephen Kaplan dan Rachel Kaplan, alam memiliki kemampuan untuk memulihkan perhatian yang terkuras akibat aktivitas sehari-hari, seperti belajar di dalam kelas atau bermain dengan perangkat digital.
Penelitian lain oleh Santoso (2022) yang dipublikasikan dalam jurnal Annals of Physiotherapy & Occupational Therapy menunjukkan bahwa anak-anak yang sering bermain di luar ruangan memiliki kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang jarang melakukannya.
Howard Gardner, dalam teorinya tentang kecerdasan majemuk, mengidentifikasi “kecerdasan naturalis” sebagai salah satu bentuk kecerdasan yang penting. Anak-anak dengan kecerdasan ini mampu mengenali pola dan elemen dalam alam, seperti jenis tumbuhan, binatang, atau fenomena cuaca. Belajar di alam memungkinkan anak-anak mengembangkan kecerdasan ini, yang sering kali terabaikan dalam pendidikan formal.
Psikolog perkembangan Jean Piaget menekankan pentingnya pembelajaran melalui pengalaman langsung atau hands-on learning. Menurutnya, anak-anak memahami dunia lebih baik ketika mereka dapat berinteraksi langsung dengan objek dan lingkungan. Anak dapat mempelajari konsep ilmiah, seperti fotosintesis atau siklus air, melalui observasi dan eksperimen langsung.
Belajar di Alam dan Kesehatan Mental
Stres dan kecemasan menjadi isu yang semakin sering dialami oleh anak-anak di era modern. Berada di alam dapat membantu mengurangi tekanan tersebut. Penelitian tentang "green therapy" atau terapi hijau menyebutkan bahwa menghabiskan waktu di lingkungan alami dapat menurunkan kadar hormon kortisol (hormon stres) dan meningkatkan suasana hati. Sebuah studi di Inggris bahkan menemukan bahwa anak-anak yang tinggal dekat area hijau memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
Ahli biologi Edward O. Wilson memperkenalkan konsep biophilia, yaitu kecenderungan alami manusia untuk terhubung dengan alam. Teori ini menyatakan bahwa kedekatan dengan alam merupakan bagian integral dari kesejahteraan manusia, termasuk anak-anak. Wilson berpendapat bahwa manusia, termasuk anak-anak, mendapatkan kepuasan emosional dan psikologis dari pengalaman di alam.
Belajar di Alam dan Keterampilan Sosial
Aktivitas kelompok di alam mendorong anak-anak untuk belajar bekerja sama, berempati, dan berkomunikasi dengan lebih baik. Saat anak-anak membangun tenda, memanjat pohon, atau mengeksplorasi hutan bersama teman-temannya, mereka belajar untuk saling mendukung dan menyelesaikan tantangan secara kolektif. Kegiatan ini juga memperkuat rasa percaya diri mereka karena berhasil mengatasi hambatan nyata di lapangan.
Ide Kegiatan Belajar di Luar Ruangan
Manfaat belajar di alam cukup beragam. Supaya tidak bosan, berikut ini beberapa ide permainan di alam yang bisa dilakukan anak-anak.
Anak dapat belajar eksperimen sains sederhana tentang ekosistem dengan mengamati mikroorganisme di air sungai atau mengidentifikasi jenis serangga di taman. Eksperimen lain yang dapat dilakukan adalah mengukur kadar air dalam tanah untuk memahami proses siklus air.
Anak dapat membuat proyek kebun kecil. Hal ini juga mengajarkan tanggung jawab dan pemahaman tentang siklus hidup tanaman. Anak dapat menanam benih, merawatnya, dan melihat bagaimana tanaman tumbuh. Aktivitas ini juga memperkuat hubungan anak dengan makanan yang mereka konsumsi.
Sesekali anak-anak juga bisa kita ajak ke hutan atau taman untuk menjelajahi flora dan fauna lokal. Hal ini menjadi cara efektif untuk mengajarkan keanekaragaman hayati. Selain itu, kegiatan seperti membersihkan taman mengajarkan mereka pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Melihat banyaknya manfaat belajar di alam, sebagai orang tua kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa anak-anak tidak kehilangan kesempatan untuk belajar dari guru terbaik mereka yaitu alam. Mari dorong mereka untuk menjelajahi, bertanya, dan menemukan jawaban di lingkungan sekitar. Dengan cara ini, kita tidak hanya membantu mereka tumbuh menjadi individu yang cerdas dan sehat, tetapi juga menanamkan rasa cinta terhadap alam yang akan mereka bawa sepanjang hidup.
Komentar
Posting Komentar