Mengenang masa lalu rasanya begitu menyesakkan dada.
Hidup yang penuh liku, hingga akhirnya aku tersadar dan mendapatkan hidayah-Nya.
Sungguh pandangan-Nya tak kan lengah sedetikpun pada makhluk-Nya. Di ruang tamu
bersama iringan lagu Do’aku yang
dilantunkan indah oleh Haddad Alwi, pipiku dingin dibasahi oleh embun yang
menetes dari kantong mataku. Sempat aku ingin pergi dari-Nya, namun ternyata
kakiku terjerat oleh tali-Nya. Keputusasaan sempat melintas di benakku, namun
karena hidayah-Nya, keputusasaan itu telah sirna. Kuselami samudera makna dari
QS.Yusuf ayat 87 yang tidak mengizinkan aku berputus asa.
***
Namaku, Sofia Nurul Jannah. Lebih dikenal dengan Sofia,
sebuah nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku 20 tahun yang lalu. Kini, aku
ingin terus menggali ajaran Islam dan ingin menjadi muslimah sejati.
***
10 tahun yang
lalu, ibuku pergi ke luar negeri. Mungkin ibuku tidak tahu perasaanku yang
sebenarnya. Bapakku juga semakin giat bekerja untuk menghidupiku. Pulangpun
malam, kadang juga tak pulang. Hingga aku tinggal di rumah nenekku, karena
rumah milik orang tuaku dijual untuk membiayai keberangkatan ibuku ke Malaysia.
Aku mengerti bapak dan ibuku bekerja demi aku. Aku menghargai betul perjuangan
mereka. Namun sebagai anak aku juga butuh kasih sayang kedua orang tua. Aku
rindu pelukan mereka, yang sudah lama tak kurasakan. Rindu canda tawa mereka. Aku
ingin mereka kembali di sini. Di sampingku. Menemani saat aku akan tidur, lalu
menceritakan dongeng-dongeng yang indah. Mendampingiku dalam belajar.
Mengajakku jalan-jalan dan semuanya. Aku ingin bersama mereka. Ah, air mata ini
menetes lagi. Mereka tak sayang lagi padaku. Mereka tak peduli sama sekali
padaku. Apakah aku salah berpikir seperti ini?
Hari berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. 7 tahun tinggal
di rumah nenekku lama-lama membuatku jengkel dan tidak betah. Pantaskah aku
hanya sebagai orang yang selalu disuruh-suruh olehnya? Menyapu, memasak,
mencuci pakaian, mengepel, dan semua pekerjaan rumah. Ya, aku sadar, aku hanya
menumpang, nenekku pun sudah tua. Ya, aku tahu kelumpuhan yang diderita nenek
membuatnya hanya bisa berbaring di tempat tidur atau hanya di kursi roda. Tapi
aku juga anak muda, yang punya hari untuk senang-senang bersama teman-teman, bermain
kesana-kemari, keliling kota, beli ini-itu, aku juga tidak ingin dibatasi dalam
pergaulan. Semua yang kuinginkan ini tak kudapatkan sejak aku tinggal bersama
nenekku. Aku tidak suka perlakuan nenekku yang suka menasehatiku.
Jiwaku semakin diisi oleh bisikan setan yang menyesatkan.
Kenikmatan yang ditawarkan setan telah memenuhi hatiku. Otakku pun semakin
tidak waras. Memandang dan menghadapi semua dengan hawa nafsu. Aku tak lagi
bisa mengontrol emosi yang meledak-ledak pada jiwaku. Semakin memuncaklah
kebencianku pada nenekku. Semakin pula
aku mengumpat takdir Allah. Ajaran shalat yang diajarkan oleh nenekku, juga
bapakku telah kulalaikan. Tak pernah lagi aku menyentuh firman-Nya yang
tertulis begitu mempesona. Ajaran-ajaran Islam sudah tak kuhiraukan lagi. Aku
benar-benar benci dengan keadaan ini. Aku juga lupa batasan-batasan antara
laki-laki dan perempuan. Maksiat-maksiat semakin dekat dan menyelubungi
hidupku. Setanpun tertawa terbahak-bahak melihat keadaanku ini.
***
“Nak, kalau pulang jangan malam-malam. Tidak baik, anak
perempuan kalo pulang malam-malam.”, ucap nenekku dengan kalimat yang pelan dan
menesehati. “Ahh, udahlah nek, jangan sok menasehati deh. Nenek tahu apa
tentang urusan anak muda?, udah tua, ikut campur lagi, gak usah mengurusi
urusanku!”, balasku dengan nada yang tinggi.
Bulir-bulir air mata mengalir di pipi putih kusut nenek.
Raut muka kesedihan terpancar di sana. Namun aku tak peduli. Meski nenek sedih
dan menangis. Itu bukan urusanku. Aku sangat benci nenekku. Aku benci takdir-Nya.
“Nek, aku gak
betah lagi tinggal di sini. Emang aku pembantunya nenek, yang siap mengurusi
nenek, yang selalu mengurusi rumah, aku anak muda yang beda ama nenek. Aku
ingin pergi dari sini nek, aku males mengurusi nenek. Aku ingin hidup bahagia
tanpa nenek.”, ucapku dengan marah.
“Jangan nak, memangnya kamu mau tinggal dimana?, bapakmu
masih bekerja dan belum pulang, jangan
nak.”, ucapnya sabar dan memelas, namun tak mampu mempengaruhi keputusanku. Aku
tak mendengar lagi kata-kata nenek. Aku keluar dari rumahnya. Aku tidak tahu
mau pergi kemana. Kuikuti saja alur langkah kakiku. Kupikir aku mampu hidup
tanpa nenekku, tanpa ayahku, tanpa ibuku yang tak sayang lagi padaku.
Di
tengah malam yang mencekam dan hanya suara makhluk kecil-Nya yang terdengar, dan
aku terus berjalan. Meski aku tak tahu mau kemana. Meski tubuhku sudah lemah,
kakiku sudah sulit kuangkat aku tetap menyusuri jalan dengan perlahan, dan tiba-tiba
mataku berkunang-kunang. Aku jatuh, aku pun tak ingat apa-apa lagi. Apa yang
telah terjadi padaku?
***
“Adik, silahkan dimakan, ini makanan seadanya dari
mbak.”, ucap seorang wanita cantik berjilbab didepanku yang mengaku namanya
Husna. “Iya mbak, makasih.”, balasku. Di pagi yang cerah ini, aku terbangun
dari kasur tempatku dibaringkan oleh Mbak Husna tadi malam. Mbak Husna telah
cerita keadaanku tadi malam. Akupun bercerita pada Mbak Husna, mulai dari ibuku
yang pergi ke luar negeri, bapakku yang bekerja dan tidak memperhatikanku,
tentang kerinduanku pada kedua orang tua, hidupku di rumah nenek dan kebenciaku
padanya, hingga aku ditemukan oleh Mbak Husna.
Mbak Husna tersenyum melihat ceritaku. Sempat ia
meneteskan air mata, mungkin karena kasihan padaku. Mbak Husna dengan
kesabarannya menasehatiku, “Adikku sayang yang dicintai Allah, tahukah adik bahwa
Allah masih sayang padamu? Dia masih memberikan hidup padamu, memberimu rezeki
yang tak adik sadari, selalu melindungi adik. Dia mengujimu seperti ini, berarti
Dia masih sayang sama adik, Dia tidak ridha jika adik tersesat dan jauh
dari-Nya. Ujian yang ditimpakan-Nya semoga dapat menghapus dosa adik, juga
meninggikan derajat adik di sisi-Nya. Lihat saja banyak orang di sekitar kita
yang lebih menderita dari pada adik. Banyak anak seusia adik yang tak pernah
sekalipun mendapat sentuhan kasih sayang orang tuanya. Lihatlah anak-anak di
jalanan itu. Lihatlah anak-anak yang mengemis demi kehidupannya sendiri.
Lihatlah orang yang lebih menderita dari pada adik. Sabarlah dik, Sesungguhnya
Allah bersama orang yang sabar. Selalu tersenyum dan jangan menyerah.”
Kata-kata Mbak Husna memenuhi telingaku, lalu diproses
oleh otakku, dan hatikupun tergetar. Mengguncah jiwaku. Mataku pedas. Butiran
air mataku terus menetes, hingga pipiku dingin dipenuhi embun air mataku. Bertubi-tubi
penyesalan atas perbuatanku terhadap orang tuaku, nenekku, dan terutama kepada Sang
Pemilik Cinta. Sungguh, sangat besar dosaku hingga aku tak yakin Dia akan
mengampuniku.
“Adik, jangan tenggelam terus pada kesedihan, segeralah memohon
ampun pada Sang Maha Pemaaf, kedua orang tua adik, dan nenek adik. Aku akan
selalu mendoakan yang terbaik untuk adik.”
“Mbak Husna, tak ada kata yang terucap melainkan terima kasih
kepada Mbak Husna yang dengan sabarnya menasehatiku, menerimaku apa adanya aku.
Aku tidak sadar akan kasih sayang-Nya yang datang dari segala arah, aku lupa
akan segala karunia-Nya yang telah dilimpahkan padaku. Aku tidak bersyukur memiliki
orang tua yang sebenarnya sangat sayang padaku, nenek yang sangat baik padaku. Aku
telah mendustakan nikmat Allah. Mbak, aku berjanji akan segera memohon ampunan
kepada Allah, kepada kedua orang tuaku, juga nenekku. Aku ingin berubah mbak.”,
ucapku. “Iya dik, Alhamdulillah atas hidayah-Nya yang telah membuatmu sadar.”,
balas Mbak Husna.
Akupun diantar Mbak Husna pulang ke rumah nenek. Begitu
indah hidayah yang diberikan Allah kepada umat-Nya supaya umat yang
disayangi-Nya kembali pada jalan-Nya yang lurus.
--
Selesai --
Komentar
Posting Komentar