“Perempuan merupakan korban dari sistem yang bertumpu pada ketimpangan dan eksploitasi,” demikian cuitan Saras Dewi, dosen filsafat Universitas Indonesia, seorang feminis, aktivis, dan seniman dalam sebuah dialog interaktif #Madgetalk di twitter pada 23 Januari 2020.
Tak dapat dipungkiri, subordinasi gender memang telah dan sedang terjadi. Beragam gagasan industrialisasi, tak lain ialah bias pemikiran manusia modern, menjadikan manusia dan kemajuan teknologi sebagai pemeran utama. Di saat pembangunan mengarah pada modernitas, nyatanya perempuan masih menjadi pihak yang terabaikan.
Ketidakseimbangan Alam
Dominasi peradaban modern nyatanya menjadi penyebab kerusakan alam. Demi pemenuhan profit, alam harus terkuras hingga titik terdalam. Perilaku dekstruktif dan eksploitatif, tak hanya berdampak pada lingkungan, namun juga manusia, utamanya perempuan. Seringkali masalah ini dikaitkan dengan ketidakmampuan manusia mengelola alam. Semesta dikelola dengan cara maskulin dan tidak humanis, melupakan posisi perempuan dalam tata kelola.
Kasus ekspansi pabrik semen di kawasan karst Kendeng, misalnya. Eksploitasi dengan sedikit memberikan perhatian pada analisis dampaknya pada lingkungan dinilai tidak berpihak pada perempuan. Pasalnya, penggusuran lahan tersebut menghilangkan mata air yang menjadi sandaran para petani perempuan. Para perempuan paham dan sadar bahwa tindakan tersebut akan berakibat pada ancaman krisis air.
Belum lagi isu tentang reklamasi teluk Benoa di Bali. Reklamasi dinilai dapat menindas para nelayan perempuan. Tentu saja, aksi ini berdampak amat besar, tak hanya pada kehidupan masyarakat, namun juga menjadi ancaman pada keanekaragaman hayati pesisir. Para nelayan akan kesulitan melaut, yang pada akhirnya akan mengancam kedaulatan pangan dan tingkat perekonomian masyarakat kecil jelas akan turun. Maka beginilah ujung dari industrialisasi.
Perspektif Ekofeminisme
Mari kita belajar dari Vandana Shiva, seorang fisikawan, pemikir besar, and tokoh feminis kelahiran India. Dalam bukunya Staying Alive, Woman, Ecology, and Survival in India (1988), ia menulis “Women's work in producing sustenance the production of life and views it as a truly productive relationship to nature, because 'women not only collected and consumed what grew in nature but they made things grow.”
Shiva berpandangan bahwa proses pertumbuhan alam merupakan kerjasama antara perempuan dan alam, sehingga menghasilkan interaksi resiprokal. Perempuan memahami bahwa tubuhnya produktif, sebagaimana pemahaman mereka pada dunia. Meskipun mereka mengambil produk dari alam, mereka tidak ingin mendominasi. Perempuan bekerjasama untuk membuat bumi agar tetap tumbuh.
Beliau mencoba lari dari pandangan antroposentrisme, memungkiri teori manusia sebagai pengatur alam, kemudian mencetuskan ekofeminisme. Menurutnya, perempuan sangat dekat dengan alam. Sebab, perempuan memiliki kemiripan fungsi dengan hutan dalam perannya dalam produksi kehidupan. Organ reproduksi wanita disimbolkan kesamaannya dengan fungsi hutan. Rahim perempuan menyediakan kehidupan untuk janin, sama halnya hutan memberikan tempat hidup untuk flora dan fauna.
Shiva ialah representasi aktivis ekofeminis. Perempuan dianggap mampu menyelesaikan masalah-masalah lingkungan. Perempuan dipandang lebih dekat dengan alam, dibandingkan laki-laki. Sebab, telah menjadi kodrat perempuan lebih peduli, membangun komunitas tanpa kekerasan, punya sensitivitas tinggi pada alam.
Melalui promosi pertanian organik yang dikembangkannya, Shiva berjuang keras untuk membela hak petani perempuan dan menjaga biodiversitas. Pasalnya, beliau sadar bahwa praktik penggunaan bahan kimia untuk meningkatkan produktivitas ialah tujuan masyarakat modern kapitalis. Hasil kerja laboratorium dan perkembangan sains tanpa sadar telah dikembangkan atas nama ketamakan.
Maka, manusia haruslah mulai menghormati alam. Sebagaimana upaya Shiva yang menyuarakan suara perempuan pedalaman di India dalam memproduksi pangan. Kesucian benih, tanah, dan ternak ialah yang diutamakan dengan menjunjung nilai kehidupan. Karena bagaimanapun, alam ialah ibarat pasangan, yang tak pantas dieksploitasi berlebihan.
Catatan untuk Perempuan Muhammadiyah
Kita semua tentu mulai sadar, bahwa isu lingkungan ialah masalah besar yang tak boleh terabaikan. Sebagai perempuan, yang disimbolkan dengan kelembutan hatinya, termasuk terhadap alam, maka inilah saat yang tepat untuk menyusun strategi untuk menjaga alam, meminimalisir kerusakan.
Jika kita mencontoh gerakan ekofeminisme yang digaungkan Shiva, maka menjadi inisiator gerakan lingkungan perempuan ialah sebuah gebrakan yang luar biasa. Atau paling tidak, terlibat dalam organisasi milik Muhammadiyah yang menggaungkan isu lingkungan juga sebuah upaya konkrit sebagai perempuan Muhammadiyah dalam menjaga semesta. Contohnya, kita bisa bergabung dengan Komunitas Hijau Muhammadiyah, yang tak hanya getol membina para kader untuk meningkatkan kapasitas keilmuan dan pemahaman kritis terhadap persoalan lingkungan, namun juga aktif melakukan pendampingan masyarakat.
Sebagai upaya pribadi, kita juga dapat menghemat penggunaan detergen yang dapat mencemari tanah; mengurangi penggunaan tabir surya dan tisu basah, sebab makin tinggi penggunaannya dapat mengancam kehidupan karang laut; memulai menanam tanaman dengan pupuk organik, bukan pupuk kimia; dan juga menggunakan tas belanja kain untuk meminimalisir penggunaan plastik.
Langkah ini selaras pula dengan hasil KTT Bumi Rio de Jeneiro dalam prinsip ke 20, bahwa “Perempuan mempunyai peran penting dalam pengelola lingkungan dan pembangunan. Partisipasi penuh mereka sangat penting untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan”.
Maka inilah, langkah strategis dan terprogram yang dapat dilakukan oleh kader perempuan Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk penyelamatan semesta. Karena sudah saatnya, perempuan yang dipandang lebih dekat dengan alam, lebih banyak berkiprah untuk menjaganya. “Ketika kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita”.
Tak dapat dipungkiri, subordinasi gender memang telah dan sedang terjadi. Beragam gagasan industrialisasi, tak lain ialah bias pemikiran manusia modern, menjadikan manusia dan kemajuan teknologi sebagai pemeran utama. Di saat pembangunan mengarah pada modernitas, nyatanya perempuan masih menjadi pihak yang terabaikan.
Ketidakseimbangan Alam
Dominasi peradaban modern nyatanya menjadi penyebab kerusakan alam. Demi pemenuhan profit, alam harus terkuras hingga titik terdalam. Perilaku dekstruktif dan eksploitatif, tak hanya berdampak pada lingkungan, namun juga manusia, utamanya perempuan. Seringkali masalah ini dikaitkan dengan ketidakmampuan manusia mengelola alam. Semesta dikelola dengan cara maskulin dan tidak humanis, melupakan posisi perempuan dalam tata kelola.
Kasus ekspansi pabrik semen di kawasan karst Kendeng, misalnya. Eksploitasi dengan sedikit memberikan perhatian pada analisis dampaknya pada lingkungan dinilai tidak berpihak pada perempuan. Pasalnya, penggusuran lahan tersebut menghilangkan mata air yang menjadi sandaran para petani perempuan. Para perempuan paham dan sadar bahwa tindakan tersebut akan berakibat pada ancaman krisis air.
Belum lagi isu tentang reklamasi teluk Benoa di Bali. Reklamasi dinilai dapat menindas para nelayan perempuan. Tentu saja, aksi ini berdampak amat besar, tak hanya pada kehidupan masyarakat, namun juga menjadi ancaman pada keanekaragaman hayati pesisir. Para nelayan akan kesulitan melaut, yang pada akhirnya akan mengancam kedaulatan pangan dan tingkat perekonomian masyarakat kecil jelas akan turun. Maka beginilah ujung dari industrialisasi.
Perspektif Ekofeminisme
Mari kita belajar dari Vandana Shiva, seorang fisikawan, pemikir besar, and tokoh feminis kelahiran India. Dalam bukunya Staying Alive, Woman, Ecology, and Survival in India (1988), ia menulis “Women's work in producing sustenance the production of life and views it as a truly productive relationship to nature, because 'women not only collected and consumed what grew in nature but they made things grow.”
Shiva berpandangan bahwa proses pertumbuhan alam merupakan kerjasama antara perempuan dan alam, sehingga menghasilkan interaksi resiprokal. Perempuan memahami bahwa tubuhnya produktif, sebagaimana pemahaman mereka pada dunia. Meskipun mereka mengambil produk dari alam, mereka tidak ingin mendominasi. Perempuan bekerjasama untuk membuat bumi agar tetap tumbuh.
Beliau mencoba lari dari pandangan antroposentrisme, memungkiri teori manusia sebagai pengatur alam, kemudian mencetuskan ekofeminisme. Menurutnya, perempuan sangat dekat dengan alam. Sebab, perempuan memiliki kemiripan fungsi dengan hutan dalam perannya dalam produksi kehidupan. Organ reproduksi wanita disimbolkan kesamaannya dengan fungsi hutan. Rahim perempuan menyediakan kehidupan untuk janin, sama halnya hutan memberikan tempat hidup untuk flora dan fauna.
Shiva ialah representasi aktivis ekofeminis. Perempuan dianggap mampu menyelesaikan masalah-masalah lingkungan. Perempuan dipandang lebih dekat dengan alam, dibandingkan laki-laki. Sebab, telah menjadi kodrat perempuan lebih peduli, membangun komunitas tanpa kekerasan, punya sensitivitas tinggi pada alam.
Melalui promosi pertanian organik yang dikembangkannya, Shiva berjuang keras untuk membela hak petani perempuan dan menjaga biodiversitas. Pasalnya, beliau sadar bahwa praktik penggunaan bahan kimia untuk meningkatkan produktivitas ialah tujuan masyarakat modern kapitalis. Hasil kerja laboratorium dan perkembangan sains tanpa sadar telah dikembangkan atas nama ketamakan.
Maka, manusia haruslah mulai menghormati alam. Sebagaimana upaya Shiva yang menyuarakan suara perempuan pedalaman di India dalam memproduksi pangan. Kesucian benih, tanah, dan ternak ialah yang diutamakan dengan menjunjung nilai kehidupan. Karena bagaimanapun, alam ialah ibarat pasangan, yang tak pantas dieksploitasi berlebihan.
Catatan untuk Perempuan Muhammadiyah
Kita semua tentu mulai sadar, bahwa isu lingkungan ialah masalah besar yang tak boleh terabaikan. Sebagai perempuan, yang disimbolkan dengan kelembutan hatinya, termasuk terhadap alam, maka inilah saat yang tepat untuk menyusun strategi untuk menjaga alam, meminimalisir kerusakan.
Jika kita mencontoh gerakan ekofeminisme yang digaungkan Shiva, maka menjadi inisiator gerakan lingkungan perempuan ialah sebuah gebrakan yang luar biasa. Atau paling tidak, terlibat dalam organisasi milik Muhammadiyah yang menggaungkan isu lingkungan juga sebuah upaya konkrit sebagai perempuan Muhammadiyah dalam menjaga semesta. Contohnya, kita bisa bergabung dengan Komunitas Hijau Muhammadiyah, yang tak hanya getol membina para kader untuk meningkatkan kapasitas keilmuan dan pemahaman kritis terhadap persoalan lingkungan, namun juga aktif melakukan pendampingan masyarakat.
Sebagai upaya pribadi, kita juga dapat menghemat penggunaan detergen yang dapat mencemari tanah; mengurangi penggunaan tabir surya dan tisu basah, sebab makin tinggi penggunaannya dapat mengancam kehidupan karang laut; memulai menanam tanaman dengan pupuk organik, bukan pupuk kimia; dan juga menggunakan tas belanja kain untuk meminimalisir penggunaan plastik.
Langkah ini selaras pula dengan hasil KTT Bumi Rio de Jeneiro dalam prinsip ke 20, bahwa “Perempuan mempunyai peran penting dalam pengelola lingkungan dan pembangunan. Partisipasi penuh mereka sangat penting untuk meningkatkan pembangunan berkelanjutan”.
Maka inilah, langkah strategis dan terprogram yang dapat dilakukan oleh kader perempuan Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk penyelamatan semesta. Karena sudah saatnya, perempuan yang dipandang lebih dekat dengan alam, lebih banyak berkiprah untuk menjaganya. “Ketika kita menjaga alam, maka alam akan menjaga kita”.
Komentar
Posting Komentar