“Sepertinya sih, tidak. Setahu saya, dia sudah lama agnostik, sudah tidak percaya sama agama", timpalku.
“Duh, eman ya orang tuanya sudah masukin dia 6 tahun di pondok pesantren”, gumam temanku sambil geleng-geleng kepala.
“Lha iya. Memang banyak faktor yang mempengaruhi shaleh atau tidaknya anak. Tetapi, jangan salah, kalau perkara pengetahuan dan hafalan, kita ini tentu kalah. Paling tidak, dia sudah pernah hafal 6-8 juz Al-Qur’an”.
"Jadi yang benar gimana, ya? Kadang repot juga, orang tua serasa lepas tanggung jawab kalau anaknya sudah di pondok, seolah sudah ada jaminan sepulang dari pondok pasti anaknya bisa lebih shaleh", balas temanku.
"Ya, bagaimanapun anak tetap tanggung jawab orang tua sih, tidak bisa diwakilkan, terlepas dekat atau jauh", jawabku.
Perbincangan sederhana nan sarat makna, menghiasi perjumpaan kami di ujung senja.
Maka, teringatlah saya pada kisah tiga keluarga mulia. Dua di antaranya disebutkan di dalam Al-Qur’an, satu lainnya adalah kisah seorang pemimpin adil yang mampu memakmurkan negara dalam waktu 29 bulan. Persamaan menarik dari ketiganya ialah jauhnya sang anak dari ayahnya. Namun, istimewanya, anak tersebut mampu tumbuh menjadi pribadi yang begitu luar biasa.
Pertama, tersebutlah kisah dari keluarga Imran. Imran adalah seorang laki-laki shaleh. Istrinya bernama Hanna. Dikisahkan bahwa Hanna tak kunjung menunjukan tanda-tanda kehamilan, meski usia pernikahannya sudah cukup lama. Pada akhirnya, ia pun bernadzar. Apabila nantinya dikaruniai seorang anak, maka akan dididiknya untuk berkhidmat kepada Allah di Baitul Maqdis. Selang beberapa waktu, Hanna pun mengandung. Namun siapa sangka, menjelang masa kelahiran, Imran meninggal dunia. Maka, lahirlah seorang putri yatim dari rahim Hanna. Ialah Maryam. Ia tumbuh menjadi wanita sempurna di bawah asuhan pamannya, Zakaria. Ia pun melahirkan seorang putranya, Isa as., yang terkisah mengharukan tiada tara. Maka, Maryam pun begitu istimewa, yakni menjadi salah satu wanita penghulu surga bersama 3 wanita istimewa lainnya.
Begitulah, sekelumit kisah keluarga Imran, yang tercatat sebagai keluarga teladan di dalam Al-Quran. Imran, sang ayah, berhasil mendidik istrinya untuk menjadi madrasatul ula bagi anaknya. Meskipun Imran sudah tiada, namun hikmah dan keilmuannya turut hadir dalam mendidik anaknya melalui lisan istrinya.
Kedua, ialah kisah Keluarga Ibrahim. Sedikit berbeda dengan kisah keluarga Imran, Ibrahim dikisahkan masih hidup menemani putranya, Ismail. Namun, jarak Makkah dan Palestina lah yang menjadi pemisahnya. Atas perintah Allah, Ismail dan Siti Hajar dipindahkan dari Palestina menuju Makkah, yang kala itu begitu tandus. Sejak kecil, Ismail ditempatkan di samping baitullah untuk berhidmat. Dalam kisahnya, Ibrahim hanya berkunjung beberapa kali untuk berjumpa dengan Ismail, yaitu ketika ada perintah untuk menyembelih putranya, meninggikan ka’bah, dan dua kali saat Ismail sudah berkeluarga. Pertemuan yang singkat tersebut selalu padat akan hikmah dan kebijaksanaan, menjadikan Ismail sebagai sosok yang begitu patuh atas perintah Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam lebih menekankan pada kualitas dibandingkan kuantitas. Pertemuan singkat nan bermakna jauh lebih efektif dalam mendidik anak dibandingkan pertemuan dengan durasi waktu yang lama, namun hanya sekadarnya saja.
Ketiga, ialah kisah pemipin adil, cicit sahabat Rasulullah yang gagah perkasa, yakni Umar bin Abdul Aziz. Abdul Aziz, ayahanda Umar memilih Shalih bin Kaisan sebagai pendidik anaknya. Shalih pun mendidiknya dengan baik. Shalih mengharuskan Umar shalat lima waktu berjamaah di masjid.
Suatu hari, Umar tertinggal dari shalat berjamaah, maka Shalih bin Kaisan pun bertanya, “Apa yang menyibukkanmu?”
Umar menjawab, “Pelayanku menyisir rambutku.”
Shalih berkata, “Sedemikian besar perhatianmu terhadap menyisir rambut, sampai-sampai kamu tertinggal shalat.”
Lalu, Shalih pun menyampaikan hal itu kepada ayah Umar bin Abdul Aziz, maka ayahnya mengutus seseorang dan langsung mencukur rambutnya tanpa bertanya apa-apa lagi.
Ya, meskipun terbentang jarak yang jauh antara ayah dan anak, sikap Abdul Aziz tersebut menjadi pelajaran bagi kita, yaitu “Sebagai seorang ayah harus tetap bertanggung jawab atas tumbuh kembang sang anak”.
Maka, tumbuhlah Umar bin Abdul Aziz sebagai lelaki soleh yang terkenal adil dalam memimpin rakyatnya.
Setelah bercerita panjang lebar, kawanku pun mafhum. Bahwa dalam mendidik anak bukanlah perkara pondok atau bukan, jauh atau dekat, maupun sering bertemu atau tidak. Namun, mendidik anak ialah tentang keluasan ilmu, kualitas pertemuan, dan ketegasan. Layaknya Imran yang mendidik istrinya agar mampu menyampaikan kebaikan kepada putrinya. Layaknya Ibrahim yang begitu taat menjalankan perintah Allah untuk sesekali menemui Ismail. Layaknya Abdul Aziz yang begitu perhatian dan tegas terhadap Umar, meskipun hanya melalui perantara.
Ketiga kisah di atas ialah kisah ayah hebat, dengan segala waktu dan cara spesialnya selalu dicurahkan untuk kebaikan putra-putrinya. Semoga kita bisa mengambil ibrah.
Tulisan ialah kiriman dari penulis yang begitu tertarik dengan dunia parenting.
Komentar
Posting Komentar