Rasa
Sungguh, begitu sulit menebak-nebak
perasaan itu. Tak begitu jelas mulanya, pun tak begitu jelas ujungnya. Aku pun
tak begitu mahir mengira-ngira, bagaimana rasa itu bisa tumbuh dan bersarang
disana. Katamu, rasa itu muncul begitu tiba-tiba, sekalipun dengan alasan yang
tak biasa. Dan sayangnya, aku tak mampu menebaknya. Namun yang kurasa, semua pasti
ada sebab dan akibatnya. Sayangnya lagi, kamu tak mau bercerita tentang
penyebabnya. Ah, sudahlah. Aku tak mau menerkanya. Aku akan mencoba untuk membiarkannya, sembari bermuhasabah karenanya.
Mulanya, aku mengira rasa itu akan hilang
dengan mudahnya sejak kalimat ketidaksiapan itu kulontarkan padamu, tersebab kamu sudah terlihat
biasa-biasa saja terhadapku. Namun, nyatanya tidak. Malah katamu, tak baik jika
harus menghilangkan rasa dengan terburu-buru, sebegitu cepatnya, sebagaimana pada saat munculnya rasa itu. Katamu, semua itu ada
prosesnya. Hal yang terburu-buru malah tak akan baik jadinya. Karenanya, baiklah, aku akan mengikuti prosesnya. Semoga proses ini selalu
berada dalam bimbingan-Nya, sehingga langkahku dan langkahmu tak akan
kehilangan arahnya. Dan semoga jalan ini akan baik-baik saja.
Mungkin rasa itu ialah cinta. Cinta itu
fitrah. Karenanya, kita tak boleh semata-mata menyalahkannya. Namun, cinta pula
yang kadang mampu menjadi perangkap dalam buaiannya. Cinta pula yang mampu
membutakan dengan segala kekurangan orang yang kita cinta. Padahal, bisa jadi
orang yang kita cinta itu tak begitu baik. Hati-hati dengannya. Hati-hati ada
setan yang menjadikan indah perasaan itu. Hati-hati jika ketaatan kita akan
ternodai tersebab perasaan itu. Saranku, jika tengah ada perasaan itu, maka
buanglah. Karena mungkin, rasa itu memang tak baik untuk terus disemai. Karena memang, kita tak boleh berharap pada manusia. Tak baik pula memberi harapan yang belum pasti adanya. Karenanya, lebih baik hentikan rasa itu, sembari terus bermusyawarah dan istikharah, sebagaimana Nabi telah mengajarkan kepada kita
jikalau “Tidak akan menyesal orang yang beristikharah,
tidak akan merugi orang yang bermusyawarah”.
Sabarlah. Tunggu saja waktunya. Saat kita
berhak memunculkan rasa itu kembali. Pada saat yang tepat, ketika cinta itu
menjadi halal untuknya. Untuknya, yang entah itu siapa, masih berada di
rahasia-Nya.
Komentar
Posting Komentar