Ini tentang pertengkaran hati, bagaimana menemukan jati diri
menjadi sebaik-baik pribadi. Dulu, dalam benak saya selalu terpikir prestasi,
prestasi, dan prestasi. Setelah berprestasi, saya pun mendapat apa yang saya
ingini, menjadi mahasiswa berprestasi, diundang sebagai pemateri, dsb. Senang
bukan main karena disini ialah wadah untuk mengembangkan diri dan bermanfaat
untuk orang lain.
Namun sekali lagi, ini tentang pertengkaran hati. Hati kecil tak
mudah dibohongi. Pujian karenanya yang datang bertubi-tubi, membuatku lebih
sulit lagi mengondisikan hati untuk tak berbangga diri. Aku mengakuinya.
Bagiku, pujian ibarat neraka, yang terkadang diri ini menjadi salah niat
karenanya. Astaghfirullah. Disinilah kita harus berkali-kali memperbarui niat
dan menata hati.
Sekali lagi,
yang salah bukan prestasinya, namun hatinya. Mengondisikan hati, meluruskan
niat ialah hal tersulit. Menjadi berprestasi ialah sangat membanggakan, namun
disana ada amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan. Bagaimana dari
prestasi itu bisa memaksimalkan kapasitas diri, menebar manfaat di setiap sisi,
dan tetap istiqamah dalam menjalani.
Maka,
meluruskan niat karena-Nya ialah sebaik-baik usaha. Dimanapun berada, tetaplah
menjadi bermanfaat sesuai kapasitasmu, sesuai dengan koridor yang telah
ditetapkan-Nya. Jangan melebih-lebihkan dirimu di hadapan orang lain dan
tetaplah istiqamah, tetap menjadi apa adanya. Sungguh, yang saya takut ialah
diri ini terlihat baik di mata orang lain maupun di sosial media, namun sangat
buruk di mata Allah. Jangan sampai segala usaha kita sia-sia tersebab salah
dalam meniatkannya.
“Aku tidak sebaik yang kau ucapkan tetapi aku tidak seburuk yang
terlintas dihatimu.”
Ali bin Abi Thalib
Komentar
Posting Komentar