“Ka,
sejak kapan suka menulis?”, “Mbak, gimana sih kok bisa nulis puitis seperti itu?”, “Tulisan Mbak
Eka selalu memotivasi, bagaimana sih caranya?”, pertanyaan semacam itu sering dilontarkan oleh
teman-teman kuliah kepadaku. “Dari dulu.
Dari TK sudah mulai belajar menulis hehe”, jawabku sambil bercanda. Kalau
ditanya secara lisan, aku hanya jawab sekenanya saja dan tidak bisa
berkata-kata, maka, saat ini akan kuceritakan lebih lengkap di tulisan ini, tentang
awal mula dan berbagai alasanku suka menulis hingga saat ini. Ya, meskipun
tulisanku hanyalah tulisan ala kadarnya hehe. Tetapi, bagaimanapun aku lebih
suka bahasa tulisan jika dibandingkan bahasa lisan. Karena bagiku, bahasa
tulisan akan lebih tertata dan mengena jika dibandingkan bahasa lisan (alasanku
saja sih, karena tidak terlalu mahir saat berbicara langsung hehe).
Ya, teman-teman yang
telah lama mengenalku, mereka pasti tahu bagaimana kekonyolan dan keanehan sikapku
saat dulu. Alhamdulillah, kini
perlahan mulai berubah dan mungkin orang-orang yang baru mengenalku tidak akan
mengetahuinya hehe. Tetapi disini, aku akan bercerita, supaya teman-teman tahu,
bahwa untuk menuju kebaikan selalu membutuhkan proses. Dan ingat, setiap orang
memiliki proses dan caranya masing-masing. Maka, jika kita ingin membandingkan,
tak selayaknya kita membandingkan diri kita dengan orang lain, namun
bandingkanlah diri kita sekarang dengan yang dahulu.
Kumulai
dari cerita sewaktu aku masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) ya. Dulu, aku
sekolah setingkat TK di Busthanul Athfal (BA)
Aisyiyah, yang hanya berjarak
beberapa meter dari rumahku. Untuk memulai sekolah, ibuku perlu usaha yang
lebih, karena aku tidak segera mau disekolahkan, sambil nangis dan duduk di
bawah pohon wkwk. Namun, akhirnya ibuku dan guruku TK berhasil membujukku,
hingga aku berani ke sekolah sendiri tanpa diantar yey. Ya, dulu aku tergolong muda
di antara teman-teman, masuk TK masih berusia 4 tahun kurang. Mungkin karena
alasan itulah, aku tidak terlalu berani berangkat sekolah seorang diri.
Ah, mengenang masa lalu
itu rasanya pengen ketawa, pun sedih. Aku hanyalah perempuan kecil pemalu, yang
tak begitu punya nyali ketika berbicara dengan teman sebaya maupun dengan guru.
Samar-samar aku mengingat momen saat itu. Dulu pernah diadakan lomba membaca
puisi. Kami berdiri di atas kursi yang telah diletakkan di atas meja, sehingga
kami terlihat lebih tinggi dibandingkan para penonton, yang tak lain adalah
teman sebaya sewaktu TK. Oleh karena aku suka berpuisi, meskipun masih
diselimuti perasaan grogi, aku berhasil mendapatkan juara 2 saat itu hehe. Duh,
bahagia sekali rasanya. Selain cerita bahagia, ada cerita menyedihkan sewaktu
TK. Mungkin karena sikap pendiam dan penakut yang masih menempel pada diriku. Dulu
ada seorang anak teman sewaktu TK, yang sering memanfaatkanku dengan meminta
uang seusai pulang sekolah. Uang itupun harus kuminta terlebih dahulu dari ibu
di rumah. Aku pun setuju saja ketika dimintai uang seperti itu karena tak
berani membantah. Ah, kalau mengingatnya pengen ketawa dan membayangkan betapa
polosnya aku saat itu hehe.
Kejadian
konyol juga berlanjut saat Madrasah
Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM). Aku terkenal sebagai orang yang tak berani
dalam berpendapat, banyak ketawa nggak jelas, pun suka jail. Bahkan,
kebiasaanku itu sudah terkenal di mata teman-temanku. Pernah suatu ketika ada
seleksi baris-berbaris, aku tidak bisa baris berbaris dengan baik, sehingga
tidak terpilih menjadi perwakilan dan hanya menjadi penonton hehe. Pernah lagi,
saat latihan menari untuk karnaval, aku juga gagal, karena tidak bisa lihai
menggerakkan badan, dan kena teguran wkwk. Selain itu, waktu upacara bendera, aku
pernah ditunjuk sebagai pembawa bendera. Namun, karena kurang percaya diri (PD),
aku melakukannya dengan ogah-ogahan, sambil senyum dan ketawa nggak jelas, sampai-sampai
ditegur sama kepala sekolah.
Duh, aneh sekali aku
saat itu. Aku sadar, kekurangan diriku berawal dari kurangnya rasa PD kalau
disuruh melakukan sesuatu yang dilihat oleh banyak orang, termasuk jika harus
berbicara di depan banyak orang. Aku lebih suka belajar menyendiri, dalam
suasana sepi, tak banyak berinteraksi dengan orang sekitar. Karena bagiku,
kondisi tersebut merupakan zona nyaman. Hal inilah yang menyebabkan aku banyak
gagal ketika di luar kelas. Namun, Alhamdulillah,
aku masih bisa maksimal di dalam kelas, dan tak pernah keluar dari urutan 3
besar rangking di kelas hehe. Ya, motivasi untuk selalu mendapatkan juara 3
besar tentunya datang dari orang terdekatku, ibu dan bapakku. Bapakku yang
bekerja sebagai penjual ayam pada saat itu, selalu mengajarkan kami arti kerja
keras dan perjuangan, hingga tak ada alasan lagi untuk mengeluh dan menyerah.
Setelah
lulus MIM, aku melanjutkan di Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTsN) Model Trenggalek. Alhamdulillah, aku bisa lolos masuk di salah satu sekolah favorit
di kabupaten, setelah melewati tahap seleksi yang cukup rumit. Dulu, di MTs ada
2 kelas unggulan, yaitu kelas A dan B. Aku masuk di kelas B, karena nilai tesku
termasuk berada di urutan atas hehe. Berada di kelas unggulan merupakan
tantangan tersendiri bagiku. Persaingan akademik semakin ketat, semuanya saling
berlomba untuk mendapatkan yang terbaik. Meskipun aku berada di antara
orang-orang hebat di kelas itu, sikap konyolku masih saja belum berubah. Tetap
saja tidak berani jika mengungkapkan pendapat melalui lisan. Ketika ditanya
oleh guru, aku menjawab sambil tertawa malu-malu dan menutup mulut dengan
jilbab. Apalagi saat disuruh berbicara dengan bahasa Inggris di depan kelas. Sungguh
memalukan hihi. Aku mematung di depan kelas, sambil ketawa sendiri karena tidak
bisa berkata-kata dengan bahasa Inggris. Kisah kekonyolanku masih terkenang
hingga saat ini. Akan tetapi, di balik konyol dan nggak jelasnya aku, Allah masih
begitu baik terhadapku. Alhamdulillah, aku selalu masuk 3 besar di kelas,
pernah ditunjuk juga untuk mengikuti olimpiade IPA dan Biologi saat itu, dan
pada saat wisuda aku dipanggil ke depan karena mendapatkan juara 2 UAMBN
se-MTs.
Sudah
panjang ceritanya, padahal belum sampai pada awal mula menulis dan alasan suka
menulis hehe. Akan kulanjutkan. Jangan bosan ya, membaca celotehku. Setelah MTs,
aku memberanikan diri mendaftar di sekolah favorit di Trenggalek, yaitu di SMAN
1 Trenggalek. Sebelum aku masuk di SMAN 1, sekolah tersebut terkenal suka mematok
biaya pendidikan yang mahal, hingga banyak teman-temanku yang potensial, namun
tidak berani mendaftarkan diri. Akan tetapi, berita tersebut tidak benar. Biaya
pendidikan disana juga standar, bahkan ada yang mendapatkan biaya sangat murah,
jika memang benar-benar berasal dari keluarga kurang mampu.
Berkisah
tentang masa SMA, yang disebut-sebut sebagai masa-masa paling indah sepanjang
sejarah hehe. Namun, kisahku waktu SMA mungkin tak seindah dengan kisah
teman-teman, bisa dibilang flat, berjalan
normal, tanpa banyak cerita nakal hehe. Jika teman-teman banyak menghabiskan
waktu SMA dengan pacaran dan main kesana kemari, maka jangan tanya aku. Aku tak
banyak mengenal tentang itu wkwk. Bukan sok suci ya, tetapi sungguh, aku sama
sekali tak berpikiran untuk pacaran. Alhamdulillah,
Allah masih menjagaku. Ya, karena aku masih tetap pendiam dan tak bisa banyak
berkata-kata, maka saat inilah aku mulai suka menulis. Untuk menuliskan rasa,
menumpahkan segala cerita, bahkan tentang cinta dalam diam wkwk. Masa inilah
yang dinilai masa paling labil. Ya, namanya masa remaja, wajar kan ya, punya
rasa. Karena rasa kagum dan cinta ialah fitrah, bukanlah perihal yang salah,
bukan suatu dosa. Tinggal bagaimana cara kita dalam memanajemennya. Ya,
sesekali aku menulis masalah remaja dan cinta, namun itu tidak banyak, hanya
untuk hiburan saja. Beruntungnya, aku dulu tergabung dengan Seksi Kerohanian
Islam (SKI), sehingga setiap kami ada kesalahan, ada yang berbaik hati untuk
saling mengingatkan.
Ya,
mulai SMA inilah, aku mulai menggeluti dunia menulis. Aku mulai mengikuti lomba
puisi, cerpen, hingga karya tulis ilmiah. Alhamdulillah,
dari beberapa perlombaan yang kami ikuti, kami bisa memberikan yang terbaik dan
mendapatkan juara. Akan tetapi, sikap konyolku masih belum berubah juga. Aku dulu
tidak mau diajak berfoto, bukan karena mengharamkan foto, namun entahlah,
pokoknya aku nggak mau jika diajak berfoto wkwk. Namun, ketika kami mendapatkan
juara lomba karya tulis ilmiah, kami diliput dan masuk koran, akhirnya aku mau
berfoto hehe. Saat berbicara di depan kelaspun juga tak mahir, apalagi saat
harus menggunakan bahasa Inggris (sama halnya ketika waktu MTs). Jika ditelusuri,
semuanya berawal dari perasaan kurang PD. Cukup ini saja ya, ceritaku waktu
SMA.
Setelah lulus SMA, aku
melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Malang (UM). Meskipun dulu, banyak
yang memandang UM dengan sebelah mata, karena lulusannya nanti hanya akan
menjadi guru, namun aku tak menghiraukan. Selain berasal dari kedua orangtua,
motivasiku kuliah di UM juga berasal dari guru agamaku waktu SMA, bahwa guru
ialah pekerjaan mulia, apalagi bagi seorang wanita yang nantinya akan mendidik
anak-anaknya. Aku pun semakin mantap untuk mengambil kuliah di UM. Alhamdulillah, aku lulus melalui jalur
SNMPTN, tanpa tes.
Kuliah ialah babak baru
dalam kehidupanku. Ketika aku akhirnya harus berpindah kota dan berpisah dengan
orang tua. Aku pun menemukan orang-orang baik selama kuliah, termasuk bergabung
dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Ya, disinilah tempatku belajar. Disinilah
tempatku berkembang di masa-masa awal perkuliahan. Dari yang mulanya tidak
berani berbicara, perlahan aku mulai belajar menyampaikan pendapat saat rapat. Dari
yang mulanya tidak bisa berinteraksi dengan banyak orang, perlahan aku belajar memberanikan
untuk menyapa dan menciptakan obrolan hangat. IMM sangat berperan besar dalam
proses bertumbuhku.
Di semester awal,
sekitar semester 3, aku pun mengikuti lomba yang diadakan oleh Muhammadiyah. Saat
itu, aku menuliskan tentang “Memaksimalkan
Peran Muhammadiyah dalam Memberantas Kemiskinan di Indonesia”. Alhamdulillah,
karena kebaikan Allah, saat itu aku mendapatkan juara 2. Sejak saat inilah, aku
semakin tertantang untuk mengikuti berbagai macam perlombaan. Aku pun diajak
bergabung dalam tim, yang diberi nama TSANIKA. Kami sering mengikuti lomba karya
tulis ilmiah bersama, hingga akhirnya kami mendapatkan berbagai macam
penghargaan. Kami mengalami berbagai suka dan duka, hingga akhirnya kami
semakin dekat, bahkan menjadi sahabat. Ya, meskipun sikap pendiam dan kurang
berani masih tetap ada, setidaknya aku telah belajar banyak hal dari tim ini. Tentang
perjuangan. Tentang pengorbanan. Tentang sikap saling memahami. Dan masih
banyak hal lagi, yang tak bisa diungkapkan dengan ribuan kata sekalipun wkwk.
Intinya, aku sangat bersyukur dipertemukan dengan mereka, mengajakku semakin
bertumbuh, lebih berani, dan berusaha keluar dari zona nyaman.
Berawal dari tim
inilah, kami semakin giat berprestasi, memupuk kecintaan pada tulisan, dan juga
memperbaiki niat dalam menulis. Bahwa menulis bukan semata-mata untuk berprestasi,
namun ada hal yang lebih penting, yaitu menajamkan pemahaman, menyelesaikan
permasalahan, dan menebar kebermanfaatan. Menulis ialah pilihan orang pendiam agar
tetap bisa berdakwah, sekalipun tanpa bersuara. Aku pun akhirnya memberanikan
diri untuk menerbitkan buku, yang berjudul “Ketika
Rasa Bercerita”. Sungguh, buku yang masih jauh dari sempurna, tulisan yang
sejatinya hendak memotivasi diriku sendiri. Hanya ingin menuangkan kisah dan berharap
bisa menjadi jariyah, yang pahalanya mengalir senantiasa. Aku juga sangat
bersyukur, karena berawal dari tulisan, telah mengantarkan pada mimpiku,
termasuk mengikuti pertukaran mahasiswa di Bandung, mengajar di Malaysia, menjadi
mahasiswa berprestasi, dan mengisi acara tentang kepenulisan.
Namun, aku bukanlah
siapa-siapa. Tanpa Allah, yang memuluskan jalan perjuanganku. Tanpa orang tua,
yang selalu melangitkan doa-doa untukku. Tanpa keluarga dan sahabat, yang selalu
memberikan dukungan kepadaku. Tanpa teman-teman halaqah, yang kembali meluruskan niatku dalam menulis. Tanpa teman-teman
IMM, yang mengajakku selalu bertumbuh. Sungguh, aku bukan siapa-siapa, jika
tanpa campur tangan mereka, yang begitu baik kepadaku. Terimakasih. Karena sebaik-baiknya
aku, tetap lebih baik kamu, yang telah membuatku lebih baik (mengutip tulisan
Panji Ramdana).
Maka, kita berhak
mengembangkan diri kita sesuai potensi masing-masing. Untuk yang pendiam, tidak
ada alasan lagi untuk tetap diam dan mengurung diri. Namun, harus berusaha
membuka mata dan menyuarakan kebenaran dengan cara yang kita bisa, salah
satunya melalui tulisan. Kitapun bisa memotivasi orang lain melalui tulisan. Aku
tidak malu dengan segala proses yang telah kulalui. Ya, mungkin sikap pendiamku
ketika berinteraksi masih belum hilang. Tenang saja. Bukan berarti aku marah, namun
memang sikapku demikian. Diam-diam tengah memikirkan ide yang hendak kutuliskan
wkwk (alasan). Semua kisah ini akan menjadi cerita indah dalam masa pencarian jati
diriku. Menjadi warna-warni yang menghiasai perjalanan hidupku. Maka, tetap rangkul
aku dalam masa bertumbuhku, rangkul aku dalam masa berprosesku.
Jika menulis telah
menjadi ruh dalam hidup kita, maka rasanya akan hampa dunia tanpa tulisan hehe.
Percayalah. Terjawab sudah kan, atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yuk
menulis!
Komentar
Posting Komentar