Oleh:
Eka Imbia Agus Diartika, dkk.*)
*ditulis oleh Mahasiswa UPI
Negara Indonesia
terkenal dengan sebutannya sebagai negara agraris. Dimana kegiatan bercocok tanam
banyak dilakukan diberbagai daerah. Sebagai salah satu kebutuhan pokok yaitu pangan,
sudah semestinya kegiatan bercocok tanam tersebut menjadi hal yang penting dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-harinya.
Kegiatan bercocok
tanam dapat menjadi bidang bisnis yang menjanjikan. Karena produknya berupa kebutuhan pokok yang pastinya selalu dicari dan dibutuhkan oleh orang banyak. Maka dari itu, para petani harus merencanakan
matang-matang dan menyusun strategi sebelum memulai kegiatan bercocok tanam. Para
petani harus memikirkan musim yang cocok untuk menanam, keadaan lingkungan, jumlah
modal yang akan digunakan, pemilihan bibit unggul, dan faktor lainnya. Tentu tiada
satu pun petani yang menginginkan kejadian gagal panen yang hanya menimbulkan kerugian.
Namun terdapat satu
musuh utama bagi petani dalam kegiatan bercocok tanam, yaitu hama. Hama merupakan
organisme pengganggu yang dapat merusak tanaman produksi. Terdapat dua jenis hama
yaitu hama oleh hewan dan hama oleh tumbuhan. Biasanya hama oleh hewan merusak tanaman
produksi secara fisik, misalnya ulat atau serangga yang memakan daun. Sehingga jika
didiamkan tentu lama-kelamaan tanaman produksi akan mati akibat tidak dapat berfotosintesis
karena daun rusak. Berbeda dengan hama oleh tumbuhan. Jika hama hewan merusak secara
fisik dan dari luar, maka hama tumbuhan merusak dari dalam. Mengapa? Hama tumbuhan
sering kita kenal sebagai gulma atau tumbuhan yang tumbuh liar. Jika mereka tumbuh
di sekitar tanaman produksi tentu akan terjadi kompetisi atau perebutan zat hara
dari tanah. Jika dibiarkan tanaman produksi bisa saja lambat tumbuh akibat kekurangan
zat hara atau parahnya akan mati. Tentu hal tersebut sangatlah menyusahkan para
petani.
Solusi dari masalah
di atas adalah penggunaan hewan yang memakan hama, atau penggunaan larutan bahan
kimia seperti insektisida (pembasmi serangga) atau herbisida (pembasmi gulma). Namun
muncul masalah baru, yaitu dampak dari penggunaan bahan kimia terhadap kesehatan.
Bahan-bahan kimia non organik digunakan dengan cara disemprotkan ke daerah tanaman
produksi. Larutan yang mengandung bahan-bahan kimia tersebut akan mengendap dan
masuk ke tanah dan oleh akar tanaman diserap bersamaan air dan zat hara. Tidak menutup
kemungkinan bahan kimia tersebut akan masuk ke batang, daun, bahkan buah yang nantinya
kita santap sebagai bahan pangan. Dapat dibayangkan jika hal ini terjadi dalam waktu
yang lama, sudah berapa banyak kadar bahan kimia berbahaya yang masuk ke dalam tubuh
kita?
Melihat permasalahan
di atas Kristufek dkk pada tahun 2014 yang berasal dari Institut Riset Sains di
Praha Republik Ceko, melakukan penelitian untuk menciptakan herbisida yang tidak
membahayakan bagi kesehatan. Bagaimana mereka melakukannya? Yaitu dengan melakukan
riset pada bakteri dalam tanah. Melalui riset tersebut ditemukan adanya Streptomycetes dan khususnya adanya kelompok
bakteri Actinomyces di kandungan tanah.
Actinomyces merupakan bakteri gram positif
yang diketahui memiliki senyawa sebagai antibiotik dan kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan mikroorganisme lain.
Kristufek dkk. melakukan
penelitian untuk melihat seberapa jauh bakteri Actinomyces tersebut dapat mengganti peran herbisida berbahan kimia.
Mereka melakukan penelitian dengan cara menguji bakteri tersebut di dalam laboratorium. Mereka mengambil sampel dari
tanah humus pada hutan Bohemia Tengah di Republik Ceko. Dengan menggunakan teknik mikrobiologi,
bakteri tersebut dikembangbiakkan dan diuji langsung dengan beberapa benih tanaman
seperti Mustard dan Sorgum. Ternyata hasilnya cukup memuaskan, karena Actinomyces tersebut dapat menghambat pertumbuhan
dari kedua tanaman tersebut hingga 50%.
Berdasarkan penelitian
dari Kristufek dkk. tersebut, dapat diketahui bahwa tanah-tanah humus yang mengandung
bakteri Actinomyces dapat menghambat pertumbuhan
tanaman. Jika dilakukan penelitian lebih jauh, bisa saja nantinya dilakukan pemisahan
antara tanah tanpa bateri tersebut untuk memaksimalkan pertumbuhan tanaman produksi
dan sebaliknya penggunaan tanah berbakteri Actinomyces
untuk lahan yang mungkin ditumbuhi oleh gulma atau tumbuhan pengganggu. Sehingga
pada hasil akhirnya tanaman produksi akan optimal dan gulma terhambat. Apakah penelitian
Kristufek dkk. dapat diaplikasikan di Indonesia dan menjadi solusi mengurangi penggunaan
bahan kimia pada bidang pertanian? Pastinya kita semua mengharapkan kemajuan teknologi
dapat membantu kelangsungan hidup manusia kelak baik itu dalam bidang lingkungan
dan kesehatan.
Komentar
Posting Komentar