Foto ini merupakan kunjungan untuk kedua
kalinya ke Sekolah Luar Biasa (SLB) 1 Bhayangkari, Trenggalek. Kesempatan yang
luar biasa, kami dari siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tergabung dalam
sebuah organisasi tingkat kabupaten bisa berkunjung ke sekolah anak
berkebutuhan khusus (ABK). Tujuan utama kami mengadakan kegiatan kunjungan
tersebut untuk melakukan silaturahim.
Kedatangan kami disambut dengan senyuman
hangat oleh para anak penderita disabilitas yang tinggal di asrama SLB.
Terpancar rona kebagiaan yang tak bisa disembunyikan lagi dari wajah mereka. Bukan
hanya itu, perwakilan dari mereka juga mempersembahkan lagu spesial untuk kami.
Piano dimainkan dengan lihai oleh seorang anak tuna netra. Nyanyian didendangkan
begitu merdunya oleh anak tuna netra pula. Hati ini mulai tersentuh, suasana
haru biru mulai mewarnai ketika menyaksikan kehebatan mereka memainkan alat
musik. Bermain musik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecakapan
mereka. Kami yang notabenenya memiliki fisik sempurna belum tentu bisa memainkan
alat musik secakap mereka. Disinilah kami patut bersyukur akan anugerah Tuhan,
yang selalu menyelipkan kelebihan untuk menutupi kekurangan.
Dalam pertemuan tersebut, saya juga bertemu
dengan salah satu anak yang sudah saya kenal sebelumnya dan sekarang tinggal di
asrama SLB. Namanya Ageng, saya memperkirakan umurnya sekitar 9 tahun. Ia
pernah tinggal di salah satu panti asuhan di dekat rumahku. Kesan pertama saya
mengenal dia sebagai anak yang nakal dan overactive. Anak tersebut suka
menaiki sepeda bolak-balik melewati depan rumahku. Saat itu dia juga
disekolahkan di salah satu MI di desa saya, namun di kelas dia tergolong anak
yang overactive dan guru di MI tersebut merasa tidak bisa mengatasi.
Namun demikian, terjadi perubahan yang sangat pesat setelah saya menemuinya saat
ini, ketika ia telah tinggal di asrama SLB dan mendapatkan pendidikan di sana. Dia
menjadi lebih pendiam dan terlihat lebih sopan. Selain kisah tersebut, saya
juga pernah mengenal seorang anak tuna rungu yang juga sekolah di SLB. Dengan
bahasa isyarat dia berbicara dan ia pun juga terkenal pintar saat sekolah di
SLB.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan inklusif
berperan penting dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan anak
berkebutuhan khusus. Setiap anak pada dasarnya memiliki kapasitas yang sama
dalam hal pengetahuan dan keterampilan, baik anak normal maupun anak penderita
disabilitas. Mereka mampu menjadi anak yang hebat jika mereka dibimbing dengan
baik. Di SLB ini, anak berkebutuhan khusus tidak hanya mendapatkan pelajaran
yang berhubungan dengan intelektual, namun mereka juga diajari tentang
keterampilan. Memang mereka memerlukan bimbingan yang luar biasa, namun hal itu
merupakan sebuah kewajiban kita untuk saling membantu sesama.
Ironisnya, pendidikan ABK di Indonesia untuk
saat ini masih belum mumpuni. Masih banyak ABK yang belum mendapatkan
pendidikan secara intensif karena lembaga pendidikan untuk mereka juga masih
terbatas. Perhatian pemerintah
dalam meningkatkan kualitas pendidikan inklusi dan sekolah luar biasa (SLB)
masih jauh dari harapan. Terbukti, jumlah tenaga pendidik masih kurang berimbang
dengan jumlah siswa yang ada. Hal itu diakui oleh Kepala SLB Ar-Rahman, Jakarta
Selatan, kepada kompas.com di Jakarta, Selasa (23/2/2010). Berdasarkan
data sementara Direktorat Pembinaan SLB Kemdiknas, jumlah tenaga pendidik SLB
(pegawai negeri sipil ataupun swasta) hanya berkisar 16.000 orang, sedangkan
siswa SLB di seluruh Indonesia mencapai 75.000 orang.
Angka partisipasi kasar (APK) anak-anak usia sekolah yang berkebutuhan
khusus juga masih rendah, hanya 20-25 persen, dari total 347.000 anak-anak
berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, setiap daerah perlu memberikan perlakuan
khusus kepada kelompok itu dengan cara menyediakan dan mengoptimalkan lembaga
pendidikan untuk penyandang cacat (Kompas, 2010).
Selain Ageng, dalam pertemuan
tersebut, juga ada beberapa anak yang menarik perhatian saya. Saya belum sempat
berkenalan dengan mereka. Mereka senang berada di dekat kami, meminta perhatian
kami, memeluk, menanyakan kesibukan kami, terlihat seperti halnya anak normal. Hal
ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus memang membutuhkan perhatian.
Mereka ingin bergaul seperti halnya anak normal. Mereka tidak boleh mendapatkan
diskriminasi. Sebaliknya, mereka harus diperlakukan sama agar mereka tidak
merasa minder dan bisa menikmati hidup seperti halnya anak normal. Jika masih
ada orang tua yang malu menyekolahkan anaknya yang menderita disabilitas, maka
hal itu perlu diluruskan. Seharusnya anak disabilitas juga mendapat perhatian
dan pendidikan yang sama, sebagaimana UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat yang menyatakan bahwa anak penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan
yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan. Mari kita sayangi
anak disabilitas, memberikan perhatian yang lebih, dan menghilangkan segala
diskriminasi. Merekapun memiliki berlian masing-masing yang akan bersinar pada
waktunya.
Sungguh kita tak dapat memilih
dilahirkan seperti apa. Dilahirkan dengan disabilitas pun juga bukan pilihan
kita. Namun apa daya ketika Maha Kuasa telah berkehendak? Akankah kita bisa
lari dari kenyataan? Kita harus berlapang dada dan menerima. Menyadari bahwa
apapun yang terjadi adalah perencanaan-Nya. Namun, disabilitas bukanlah
halangan untuk berhenti berbuat. Merekapun punya segenap kapasitas dan kemampuan
untuk maju. Sayangilah mereka dan berilah perlakuan yang sama untuk mereka.
Anak disabilitas pun punya hak yang sama dalam menemukan berliannya.
Komentar
Posting Komentar